MENTARI DI DUSUN MATAHARI
Entahlah…
Pagi ini, aku terbangun sebagai seorang jin bernama Bejo, dengan kaki cacat, yang satu besar, yang satu kecil, ekorku panjang menjuntai, tubuhku biru, culaku dua retak satu. Kumisku seperti Naruto di film seri salah satu stasiun televisi di republikku.
***
Dayu adzan subuh mengusik mimpi gilaku.
***
“Aku datang ke rumahMu wahai Tuhanku…”, bisik hatiku. Aku dengan tergesa menuju ke mushola. Ketika aku sampai di tempat, tak kujumpai seoangpun, suara adzan yang tadi mengusik tidurku ternyata suara teman sebangsaku.”Kemanakah manusia-manusia?”, tanyaku pada temanku. “Mereka sudah disibukkan dengan duniawi, kelonan dengan syahwati, sehingga lupa akan yang mencipta segala isi bumi.
Seusai sholat, mentari merambat cepat, di sebuah gubug tua tempat aku tidur tadi, ternyata ada segerombolan setan yang perutnya buncit. Aku bergegas menghampiri mereka, “Gerangan apakah yang membuat perut kalian buncit seperti ini ?”, salah satu di antara mereka menjawab, “kami telah makan hasil manusia yang makan dan di dalamnya tidak menyebut asma Allah, seluruh penduduk sini banyak yang kurus, karena tidak mendapat berkah lantaran rahmat dari apa yang mereka makan , dan banyak yang gendut, tapi diliputi penyakit yang tidak memberikan berkah sama sekali. Aku tertegun…
***
“Pemirsa, sampai berita ini diturunkan, kebakaran pabrik minyak di Dusun Matahari masih berlangsung, ledakan yang terjadi tadi siang itu telah memakan banyak korban. Para petugas kebakaran masih berusaha untuk memadamkan api si Jago Merah yang melahap sebagian besar rumah penduduk. Sekitar seribu lebih warga Dusun Matahari telah menjadi korban., tak terkecuali Haji Kohar, pemilik pabrik tekstil terbesar di Dusun tersebut.”,
***
“Tok…tok…tok.. , Pak Haji…sholat dhuhur yuk…, teriakku dari luar rumah. Tak seperti jin lain, aku diberi karunia oleh Allah dapat dilihat oleh manusia. Tak ada jawaban dari dalam, suara pidato kaset bisnis yang ada di dalam rumah besar itu terdengar dari luar, “Ah, lagian siapa yang mau mendengar jin jelek sepertiku”, pikirku sambil beringsut menuju mushola.
Tatkala rakaat ke satu selesai, beberapa tetes air dari atap masjid menetes ke rambutku yang kumal penuh debu. Aku sholat bersama temanku yang setia adzan di mushola. Tiba-tiba aku melihat bayangan seseorang yang mengenakan mukena di belakangku, tak berani aku melihat lebih lanjut, karena aku harus mengkonsentrasikan diriku pada sholatku.
Seusai sholat dan berdzikir ala amburadulku. Aku menoleh ke belakang, sesosok wanita, caaaaaaaantik sekali, membuat hatiku ingin berpuisi. Aku kembali tertegun, pahala apa jika karunia, dosa apa bila coba. Baru pertama kalinya aku melihat keindahan seperti ini. Wanita itu melepas mukenanya, bergegas ke luar. Aku tak sempat menanyakan apapun kepadanya.
Di pagi yang mirip dengan kemarin, seperti biasa aku sholat bersama teman sebangsaku, ketika mencapai rakaat kedua, lagi –lagi bayangan wanita berkerudung itu datang lagi. Sholat usai, kutoleh wanita itu, ia masih sibuk dengan wiridnya, entah apa yang dibaca. Beberapa saat kemudian, dia kembali bergegas keluar mushola. Untuk kali ini, aku tak membiarkannya begitu saja pergi. “Nona…, bolehkah aku tahu namamu?”, tanyaku agak ragu. “Kalsum…”, jawabnya pelan. “Maaf, aku tak bisa berlama-lama, kalau ketahuan ayahku, aku bisa didampratnya…”, lanjutnya.. “Memang siapa ayahmu ?”. Wanita itu tidak menjawab, ia langsung pergi. Kubuntuti ia sampai akhirnya aku tahu, ia menuju rumah Pak Haji Kohar. Aku bertanya dalam hati, kenapa Pak Haji Kohar tidak mengizinkan anaknya sholat, padahal dia sendiri mempunyai predikat Haji, predikat yang banyak orang mendambakannya. Ada satu pertanyaan lagi, kenapa seorang wanita sholat di masjid, padahal kan katanya kalau seorang wanita bisa sholat di rumah, itu lebih menjaganya dari pendangan. Pertanyaaan-pertanyaan tadi masih terpendam hingga dhuhur datang. Tak seperti biasa, sholatku sudah mencapai rakaat ketiga, aku belum melihat bayangan wanita itu, sampai akhirnya aku sampai pada rakaat keempat, akhir sholatku. “Di manakah ia?” , batinku tak habis.
‘Isya’ datang, akhirnya wanita itu datang juga, tapi aku melihat pipinya bengkak seperti habis dipukul, aku belum berani bertanya. Aku simpan segudang pertanyaan sampai ia menyelesaikan wiridnya. Kali ini, takkan kubiarkan lagi ia pergi. “Nona, gerangan apakah yang membuat pipimu bengkak?, aku berjanji tak kan memberi tahu ayahmu”. “ Memang kamu tahu siapa ayahku?, tanyanya kaget. “Ya, aku tahu, Pak Haji Kohar kan ?”, sahutku. Ia menunduk. Tak ada yang keluar dari bibirnya. Aku keki. Sejenak kemudian, ia mulai bercerita bahwa ayahnya dulu adalah imam di masjid ini, ia rajin berdakwah.”Hanya saja, semenjak ia menggeluti bisnis yang aku tak tahu halal haramnya, ia disibukkan dengannya, bukan lagu-lagu rohani yang ia dengar, tapi kaset rekaman pebisnis handal yang selalu mengusik telinganya. Akhir-akhir ini, ketika aku sholat, ia sengaja menyetel kaset itu keras-keras, sehingga aku memilih sholat di sini. Tadi pagi, aku berusaha ngobrol dengan ayahku mengenai hal ini, ternyata dia malah marah”. “ Nak, kita kaya, dan akan semakin kaya, tak perlu lah lagi kau sholat,dulu ketika Bapak rajin sholat, Bapakmu ini tak mendapatkan rizki sebanyak ini. “ Aku berusaha mengingatkan ayahku bahwa semua ini hanyalah sementara, tapi ternyata ia malah marah dan memukulku. Kini aku hanya bisa berdo’a agar ia bertobat.
Aku trenyuh…
***
“Nguingg….”, suara ambulance yang membawa Pak Kohar yang seluruh tubuhnya terbakar melaju kencang. Aku bersama Kalsum ikut di dalamnya. Belum sempat sampai rumah sakit, Pak Haji Kohar sudah menghembuskan nafas terakhirnya. Sontak tangis Kalsum pecah di dada ayah yang sangat dicintainya.
Di pelataran kuburan, bunga bertaburan di atas nisan. Di depan kami,aku dan Kalsum, mentari masih setia menyinari, pertanda perjuangan untuk dakwah ini belum berakhir, masih akan dilanjuti. Kami berjanji akan mengajak yang lain di dusun kami untuk kembali melaksanakan ajaran Islam dengan benar, bukan hanya KTP.
***
Malam ini, sebelum aku melelapkan diri pada tidurku. Aku berdo’a.”Ya Allah, apabila aku besok terbangun sebagai manusia, aku akan segera melamar Kalsum, dan kami berdua sama-sama berjuang berdakwah, namun apabila aku terbangun tetap sebagai jin, aku pun tetap akan berjuang di jalan-Mu.
Paginya, aku terbangun sebagai manusia.
aku tak sekuat dulu…
kini, aku tak sekuat dulu, yang bisa tegar di bawah malam yang dinginnya memaku…
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
angin menerobos kamarku, aku yang tak kuat dengan ‘teler’ku atas begadang yang tak kunjung usai menuai harap baru, mencoba menutup semua sinar yang mencoba bangunkanku, aku masih ingin beku bersama kantukku…
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
kenapa?kenapa aku tak sekuat dulu, yang bisa sampai pagi berkutat dengan delphi, java, jsp, servlet, php, phyton, apalah itu, yang sampai sekarang pun sebenarnya aku masih memakainya secara ragu-ragu, ringkaskah?hemat memorikah?ah…, aku sudah mulai bosan dengan itu, error handling melulu, try{}catch{}finally{}, huh…bisa hancur kepalaku, sementara tidak ada master yang mau mengajariku semua itu secara cuma-cuma, …ah…
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
beberapa minggu yang lalu, aku telah mengadakan tutorial untuk UKM*)ku, secara cuma-cuma, tapi dasar orang-orang ga ngehargain ilmu, ya yang datang ya cuma itu-itu, padahal anggota kami banyak, hah, untuk apa aku bagi-bagi ilmu, gratis pula, tapi tidak ada yang ngerespon dengan baik, pas rapat, mereka datang, mereka setuju, pas pelaksanaan, ga datang, hem.h.., dikira cari ilmu itu gampang apa…?
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
balik ke inti masalah, kenapa aku tak sekuat dulu? ataukah sudah mulai saatnya aku mulai meredakan ‘ngoding’ku, harus sedikit refreshing, cari pendamping, 🙂 ?
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@
UKM* = Unit Kegiatan Mahasiswa.
Udah bayar kuliah
pyuh..akhirnya aku bisa bayar kuliah, besok bisa ujian, tapi masalahnya sekarang, aku belum belajar, lagi pusinggg…ngoprek java, nggak bisa-bisa, pengennya sih multiple inheritance, tapi ga berhasil-berhasil, e..malah jadi class baru, lieurrr…
*******
lanjutin lagi ah…
belum bayar kuliah
pernah ga ngalamin, mau uts, tapi uang kuliah belum lunas? Hal inilah yang sekarang terjadi pada saya, wah, pusing…
<ini cerita pendek yang pendek banget>
leave a comment